“NGAPO SIH NAK AKU NIAN?” tiba-tiba perempuan itu
menghentak ke arah kami, terdengar lantang dan melawan. Wajar kalau dia kesal,
karena dia harus menjadi ketua dari beberapa orang yang ospek untuk memberi
hormat pada senior kami yang berada di
teras depan kelas. Aku menoleh lalu memperhatikan wajahnya sekilas, dan ya, hal
pertama yang selalu ku perhatikan dari seseorang adalah mata dan bibir, perempuan
yang berambut sebahu dan berkaos putih itu punya tatapan yang tajam setajam
caranya bicara. Cantik dan judes,
penilaian pertamaku.
Hey jun,
she is you. Kira-kira seperti itulah kita bertemu, aku tidak bisa menceritakan
detailnya karena itu sudah lama (dan aku lupa). Enam tahun yang lalukah? Terserah.
Aku tidak pandai mengingat sejak kapan kita mulai berteman dan sudah berapa
lama waktu berlalu. Ih, kita langgeng ya! Beda jauh dengan kisah-kisah
percintaan kita yang hanya bertahan beberapa waktu. Aku tidak pernah menulis hal
manis apalagi romantis untukmu, tapi semoga ini sudah mewakili semuanya..
Banyak
sekali tangis dan tawa yang kita bagi bersama sampai aku bingung harus
menyebutmu apa.. Teman? Sahabat? Ah, kau lebih dari sekedar itu. Jujur saja,
andai kau seorang lelaki, mungkin sudah kujadikan kekasih. Hahaha.
Hey jun,
terima kasih karena walau kita punya banyak kesamaan, hobi dan kesukaan yang
sama terhadap hal-hal yang anti-mainstream, bahkan kita nyaris satu selera, tapi
kita tidak pernah saling menikam. Kita juga sering bertengkar oleh perbedaan,
memperdebatkan hal sepeleh, bahkan merajuk tidak penting, tapi kita tidak
pernah saling menerkam.
Terima
kasih karena kau berada dibarisan depan untuk membelaku dan menyumpah serapah
mereka yang merendahkanku. Tapi, kau
juga orang pertama yang akan memarahi, memaki, bahkan menertawakanku ketika aku
salah dan melakukan hal bodoh.
Terima
kasih karena tidak semua orang bisa membuatku nyaman menjadi diri sendiri,
tetapi kau bisa. Kau tetap disini dengan aku dan semua sikap kekanak-kanakanku yang
sering membuat orang menjauh pergi.
Terima
kasih karena kau telah menjadi tempatku mengadu dan mendengarkan apa yang tidak
kuceritakan pada orang lain, kau tau semua sisi gelap dan kelamku dibanding
orang tuaku sendiri. Tidak ada satupun rahasiaku yang tidak kau tau.
Terima
kasih untuk terima kasih – terima kasih lainnya yang tidak bisa kutuliskan satu
persatu.
Hey jun,
kau ingat? Diantara banyak kisah yang kita lalui, ada satu kejadian saat SMA yang masih kuingat sampai sekarang. Siang
itu sepulang kita sekolah, kita menunggu angkutan umum dipinggir jalan, kita
berdiri cukup lama... sampai akhirnya salah satu teman kita yang kelelahan
menunggu memutuskan untuk duduk sebentar di becak kosong yang sedang parkir (mangkal).
“Jangan numpang duduk dibecak cak
itu, agek kalo ado penumpang yang nak naek laju dak jadi naek oleh ado kau, kan
kasian mamangnyo...”
kataku.
Lalu kau bilang “Kak,
kau diputusin gara-gara dak pedulian? Sadar dak sih, kau tuh jauh lebih care
dari yang wong lain kiro. Mantan kau tuh yang salah.”
DHEG!
Hey jun,
kau yang paling tau.. Kala itu aku tengah merasa bersalah ditinggalkan pacar
yang menganggap aku perempuan yang berhati dingin dan tidak pedulian. Tapi
dengan satu kalimatmu, aku menjadi
merasa jauh lebih baik.
Tidak,
bukan hanya saat itu. Tapi setiap saat. Ketika aku yang mudah sekali rendah
diri ini mulai putus asa, kau menguatkan aku dan membuatku merasa lebih baik. Kau
selalu meyakinkan kalau aku manusia yang berharga.
Mungkin,
jika suatu hari Tuhan bertanya apa yang menjadi alasan aku tetap kuat dan
bertahan di dalam hidup yang kadang-kadang menyedihkan ini, salah satu
jawabannya adalah kau; Junita Sari
Mustika.
:))